Lokananta, It's kind of... "what"?


Suatu hari saat melintasi salah satu ruas jalan di Solo, terjadilah:
A: Eh mbak mana sih Lokananta? Katanya deket-deket sini ya?
B: Kamu ngga tau Lokananta dek?
A: Ngga, aku penasaran kaya gimana sih?
B: Itu depan, kiri jalan. Emang apa yang mau diliat dari Lokananta?(retoris doang)
Hening dan Lokananta hanya lewat gitu aja.
B: Kamu ngga tau Lokananta dek?
Hening
B: Berapa taun di Solo?
A: Sejak SMP
B: Dan sekarang udah kuliah?
....Loading
Itu cerita fiktif belaka sih, tapi dikonstruksi dari peristiwa di lapangan, jadi kalo ada kesamaan tokoh, cerita dll kebutulan aja. Inti dari kejadian di atas sebenernya cuma dikit, di pertanyaan retoris
Emang apa yang mau diliat dari Lokananta?
          Berawal dari rencanaku bareng seonggok temen yang pengen ikut lomba PR yang diadain salah satu universitas di Jogja. Betapa mulianya kita, ketika kita mau bikin program perencanaan komunikasi buat Lokananta. Pilih Lokananta karena menurut kita "itu" adalah the most unbranded "thing" di Solo. Brand-nya udah ada, tapi strateginya bikin orang aware, target market-nya dapet dan bisa sustain?
       Karena informasi yang didapet dari gugling terbatas banget, kita memutuskan buat datangin. Entah harus beruntung atau sedih atau bersikap bagaimana saat dapet kesempatan bertemu Lokananta bulan Oktober lalu. Sampai di Lokananta... Oh itu tempat? Kedengeran seperti lokalisasi? atau temennya Gembiraloka? Emm sesuatu yang berasal dari daerah (red: lokal) dan sari kelapa kenyal (red:nata)? Huuuus sebelum ngawurnya sampe kemana-mana, sedikit info buat yang belom tau apa itu Lokananta. Lokananta merupakan studio rekaman analog satu-satunya yang masih bertahan di Indonesia. Ngga ngerti juga? Itu lho yang produksi rekaman pake piringan hitam. Kedengaran hebat ya, terus bingungnya dimana? Lemme tell u...
      Sampai di Lokananta, bakalan disambut sama bangunan-bangunan tua yang begaya arsitektur belanda. Ngga tua-tua amat sih, keliatan udah terenovasi, tapi ngga ngilangin keasliannya. Bahkan pertama napak di teras bangunannya, berasa masuk ke era 80an gitu, swear!!! Tembok kecoklatan, Lantai coklat, pintu kayu coklat gelap, kursi kayu, pajangan dinding foto-foto item putih dan pas masuk halaman tengah... Ajojing boy... Ada taman dengan air mancur ditengahnya terus dikelilingi sama ruangan-ruangan lain. Whata old school! Coba cek cover album White Shoes & the Couples Company, mereka shoot di depan air mancurnya. Masuk ke salah satu ruangan yang ternyata ruang finishing dimana piringan hitam yang ngetren ditahun diproduksi, dan sampai sekarang masih digunakan buat ruang kantor sekaligus editing. untuk ukuran kantor ruangannya cukup gede tapi melihat penampakannya lebih mendekati gudang kuno. Masih ruangan lama, dengan beberapa susunan piringan-piringan hitam, alat perekam, mixer dan yang paling parah AC jaman kawak banget, yang box-nya gede, anginnya mantep ngrongngrong gitu. Untungnya sih udah ada komputer, dan kayanya itu satu-satunya piranti modern yang ada disana, karena pengelola emang sedang mengusahakan digitalisasi semua arsip-arsip rekaman analog mereka. Sungguh, itu ngga masalah kalo cuma buat nge-back up tapi ini dilakuin karena abis ini ertah arsip aslinya bakal ludes satu persatu kaya alat yang buat nge-burn piringan hitam. Dulunya ada tapi setelah ngga ada lagi aliran dana untuk biaya operasional dan perawatan, alat tersebut pun dijual. That's why Lokananta udah ngga bisa produksi piringan hitam sendiri.
Ini Lokananta. No no no, ini koleksi piringan hitam yang ada di sana. Dan masih ada ratusan lagi.
      Ngulik lebih dalam tentang Lokananta ternyata jadi asyik ketika Pak Bemby, koordinator re-mastering Lokananta sekarang doyan banget story telling, jiaaaah curhat maksudnya. Tapi beneran beliau punya bakat story telling atau dongeng lho. Beliau cerita panjang lebar tentang awal berdirinya Lokananta sampai kondisi sekarang, sampe-sampe nih kalo ada kasur, udah bobok nyenyak sambil mimpiin de'e (red: dia dalam bahasa Jawa) merintis berdirinya Lokananta dengan latar tahun 50-an. Gilak merindingding romantis broo. 
         And the story begun. One day on nineteen fifty fiveffffhhh...
       Dididirikan oleh sesepuh RRI sebagai pabrik piringan hitam untuk memenuhi kebutuhan siaran. Lokananta resmi berdiri dibawah menteri penerangan RI. Naasnya, ketika menteri penerangan dihapus. Ibarat suatu hubungan si Lokananta ini di tarik ulur sama pemerintah. Pemerintah ngga melepaskan Lokananta dan menjualnya ke swasta. Lantas kemana Lokananta diperanakkan? Menkominfo? Nonono, sekarang Lokananta menjadi Perum Percetakan Negara RI. Semacam ada ketidaksesuaian, dari tujuan awal didirikan apa sampai ketika Lokananta harus mendokumentasikan seluruh arsip-arsip negara, kaya pidato kepres, kebijakan-kebijakan dkk. Peran menghidupkan budaya lewat produksi lagu-lagu daerah harus mengalah dengan pengarsipan. Sementara pengelola sendiri tidak bisa berbuat banyak. Pasalnya gerak mereka untuk menghidupkan Lokananta dengan mencari investor terbatasi oleh pemerintah yang juga tidak meng-cover biaya operasional dan perawatan Lokananta. 
       Lokananta yang dulunya dan seharusnya sampai sekarang adalah satu pabrik pringan hitam dan studio rekaman analog di Indonesia berusaha bertahan dengan menjual koleksi-koleksinya, mencari sponsor, tempat futsal event "Lokananta Festival" sampai mini museum yang mini alias terbatas banget. Satu-satunya yang masih bisa dibanggakan dari Lokananta adalah studio rekaman yang 11/12 sama Abbey Road Studios di London. Pun kalo bicara kualitas, Lokananta juga ngga kalah. Ngga terlalu ngerti tentang studio-studio gitu sih tapi cukup bukti ketika lagu kebangsaan pertama kali direkam dan artis-artis berkualitas ikutan juga rekaman di sono. Mulai Waljinah, Zaenal Combo, White Shoes & the Couples Company, Yuni Sara, sampai Glen Fredly. Keberadaannya pun masih ngga terdeteksi oleh manusia-manusia di sekitarnya. Buktinya, nyampah di Kaskus dan nemu thread ini. Asik sih infonya, dan salah satunya ada Abbey Road Studios.
lholho Lokanantanya mana?
Sedih lagi liat komennya beginian:
buat cessalia: iya tuh mungkin karena yang nulis orang Indonesia kali ya ces, jadi Indonesia ngga masuk dunia hehehe.
buat gosetsuke:Siapa artis Indonesia yg rekaman di Abbey ha? Beraninya!
Tanda tanya besar kan yah kalo ada artis Indonesia susah payah kumpulin duit, rempong-rempong flight ke London demi rekaman di Abbey Road. Hell ooooh... ngapunten mas, mbak, ini melangkah dikit aja ke Solo ada lho studio rekaman saingannya Abbey Road, cukup pake premium enamrebu perak, sewanya juga ngga pake dollar rupiah ajah bisa rekaman plusplus kaya gini
dok.Lokananta
kalo mau dicompare sama Abbey Road boleh...
dok.Lokananta

Oh almost forget, untung Lokananta masih dipegang oleh para ekspert yang emang peduli dengan kondisi Lokananta, mereka mengupayakaan agar produksi terus berjalan dengan mendigitalkan hasil rekaman dulu-dulu dan memasarkan. Utamanya untuk pemasukan sekaligus mengembalikan peran menghidupkan budaya lewat lagu-lagu daerah.
    2015 bukan eranya piringan hitam lagi, bahkan CD, hahaha udah lewat dekade. Itu kalo bicara tentang aset, bagaimana kalo aku bilang ini tentang sejarah? Sejarah besar yang ngga mungkin hilang (harusnya). Perkembangan IT untuk kemudahan ada karena ada sejarahnya, keduanya harus sejalan. Digitalisasi jadi teknologi termutakhir sekarang ini, yang bisa dimanfaatkan untuk kemudahan dan berkembangnya studio rekaman Lokananta tanpa menghilangkan unsur historis dan budaya kan? kalo itu terjadi mungkin udah beda cerita dan kita masih bisa ber-swing dengan piringan hitam di rumah.  

No comments:

Post a Comment